Rendahnya Minat Baca dan Tulis: Ada Apa dengan Indonesia?
Rendahnya Minal Baca dan Tulis: Ada Apa dengan Indonesia?
Assalamualaikum.
Di penghujung September ini saya mau sedikit bercerita atau mungkin brainstorming bersama teman- teman. Kita ngomongin soal rendahnya minat baca dan tulis yuk!
Ada apa dengan minat baca tulis kita?
Ada yang salah???
Entahlah.
Duluuuuu banget waktu aku masih kecil-- ini adalah cerita ayahku yang kudengar kala ia tengah bercerita dengan teman atau keluarga lainnya. Aku sering dipanggil 'kutu buku' oleh para tanteku, adik-adik ayah. Soalnya, aku kecil itu saaaaangat akrab dengan buku.
Kami tinggal di kampung. Sementara nenek- kakek dan para tante dari sebelah ayahku tinggal di Palembang. Kalau musim liburan sekolah, tanteku sering mengajak aku dan adikku untuk tinggal di rumahnya. Alasannya biar rumah rame dan anaknya ada teman main.
Sebenarnya aku enggan.
Tapi, tanteku biasanya berjanji soal pergi ke toko buku! Yeaaay!!!
Akhirnya akupun mau ikut berlibur ke rumahnya di kota.
Sebegitu sukanya aku dengan buku sehingga bujukan pergi ke toko buku rasanya menyenangkan sekali.^^
Mereka sering bertanya-tanya, kenapa aku suka sekali membaca.
Saat di rumah tante, aku sering mencari-cari buku cetak alias buku paket Bahasa Indonesia atau PPKn milik sepupuku. Karena kedua buku itu biasanya memuat paragraf cerita untuk kulahap. Jika sudah habis bacaan di sana, aku akan pergi ke warung tante. Tanteku mengisi waktunya di rumah sambil membuka warung sembako. Di dalam warung biasanya ada tumpukan koran yang dibeli om setiap hari.
Dengan dalih menjaga warung, aku pun duduk seharian di sana sambil membaca koran- koran bekas tadi. Biasanya aku paling suka mendahalukan bagian pojok dan teka-teki silang.
Yang pernah kudengar (dan kembali kukonfirmasi ke ayah), katanya karena ayah memang sengaja membiasakan agar kami gemar membaca.
Hah???
Jadi kesukaan akan membaca ini 'dibentuk' ayah?
Aku masih bingung saat mendengarnya waktu itu.
Katanya, ayah kerap kali pura-pura membaca koran, padahal itu adalah koran yang sudah lama dan ayah sudah membacanya. Ayah cuma acting memegangnya dan seolah tengah membaca. Kalau sudah begitu, biasanya aku dan adik kecilku akan duduk mendekat dan ikut
Hahhaaa...
Ternyata ayah dan ibu membuat lingkungan agar kami tertarik dan terbiasa dengan aktivitas membaca itu. Benar saja. Aku dan adikku pun akhirnya tertarik dan mulai mengerti tentang kertas- kertas penuh tulisan dan beberapa gambar itu. Kami tahu bahwa kertas- kertas itu bisa dipelototin (karena waktu itu kami tak tahu bahwa ayah sedang membaca) atau ditulis-tulis (baca: dicoretin). LOL
Intinya kami mulai terbiasa dengan kertas- kertas.
Setelah itu, ayah dan ibu mulai berlangganan majalah anak. Majalah yang masih sangat kusuka hingga sekarang. Kalian pun pasti kenal dengan majalah ini.
Namanya, Majalah Bobo.
Setiap masanya kami menunggu abang pengantar majalah. Berebut membaca kelanjutan cergam Nirmala juga Bona. Tak lupa cerita keluarga bobo dan cerpen- cerpen menarik lainnya.
Sejak saat itu kami makin akrab dengan bacaan dan sering kali kehabisan buku untuk dibaca. Alhasil, koran dan buku pelajaran perlahan digandeng menjadi teman akrab. Sering membaca buku paket mata pelajaran juga buku rangkuman intisari (dulu ada buku RPUL dan RPAL yang sampai usang sering kubaca) memberi bonus peringkat di sekolah.
Tapi, saat itu aku tak sadar bahwa karena membacalah semua bonus itu kuterima.
Membaca sudah menjadi hobi. Menjadi sesuatu yang menyenangkan, yang tanpanya serasa sepi.
Kurasa, ayah dan ibu berhasil membuat suasana akrab dengan kertas- kertas tadi.
Lalu, apa kabar aku yang sekarang?
Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang membuatku sedih. Karena ketika harus bermuhasabah alias refleksi diri, jawabannya akan sangat menyedihkan. Kupikir, ada penurunan gairah membacaku saat ini dibanding aku kecil dulu.
Dulu, betapa koran pembungkus sayur pun kulahap.
Sekarang? Ah, sudahlah.
Sangat terasa lagi saat aku mulai duduk di sekolah tinggi. Biasanya aku tak pilih tebu untuk melahap bahan bacaan. Saat aku kelas 2 SMP, aku membaca buku autobiografi kakekku Mochtar Effendy, salah seorang pejuang bangsa yang tebalnya lebih dari 6 cm dalam waktu 3-4 hari saja.
Autobiografi adalah jenis buku yang membosankan bagi anak direntang usiaku saat itu. Saat anak-anak gemar membaca komik, aku malah sedang suka bacaan sejarahdan politik.
Benar- benar tak memilih bacaan asal bukan sesuatu yang dilarang agama.
Mulai terasa kontras sekali saat aku duduk di bangku sekolah tinggi strata-1.
Bahan bacaan mulai terfokus. Mungkin itu juga yang menjadi pencetus ketidakakrabanku dengan kertas. Aku membaca topik yang berhubungan dengan mata kuliah jauh lebih banyak karena aku tak mau tertinggal dalam hal nilai.
Ya!
Karena belum banyak belajar serta tak berinisiatif membuka diri, aku pun terjerat dalam lingkaran hitam #eaaaaa
Intinya, berjuang karena tak mau IPK turun, tak mau jadi tertinggal di sekolah, dan segala pertimbangan lain yang melulu soal NILAI.
Itu jelas salah!
Tapi apa daya, sistem pun mengarahkan ke sana.
Juga aku yang masih labil saat itu. Banyak sekali target pencapaian hingga lupa betapa 'nikmatnya' membaca. Aku pun kelelahan karena membaca demi nilai sekolah tadi.
Mungkin... Mungkin loh yaaa...
Sistem sekolah kita ini membuat kita terlalu lelah fokus pada hal salah.
Orientasi berubah dari reading for pleasure yang dibangun dari lingkungan keluarga menjadi lebih berat lagi. Ternyata si kutu buku tak benar-benar jadi kutu buku pada akhirnya.
Untuk tugas akhir sekolah tinggiku saat itu, dengan refleks aku memilih topik membaca.
Kenapa? Saat itu aku belum tahu benar hakikat meneliti. Tapi yang kutahu adalah PILIHLAH TOPIK SESUAI MINAT. Akhirnya, secara natural aku memilih topik membaca.
Waktu itu tahun 2011 aku memulai proposal penelitian.
Berbekal data peringkat literasi dunia dari PISA, aku pun mengetahui bahwa Literasi Indonesia berada di peringkat ke 57 dari 65 negara.
Baca: INVESTIGASI KESULITAN ANAK DALAM MEMBACA TEKS DESKRIPTIF
Hal yang mengejutkan tentunya
Intinya ternyata minat baca dan tulis (serta komponen literasi lainnya) masih sangat rendah.
Ternyata, data terbaru tahun 2016 yang kubaca dari tulisan Mbak Dian Restu dalam tulisannya yang berjudul "Mari Cintai Negeri dengan Gemar Membaca dan Menulis Sejak Dini!" bahwa peringkat literasi Indonesia terakhir adalah ke 61 dari 62 negara.
Glek!
Makin jauuuh...
Kita berada di peringkat kedua DARI BELAKANG!!!
Astaga!
Tahun 2012 aku menilik dari paling akhir, kita pringkat ke-9 dari belakang dan sekarang?
Ini adalah pecutan bagi kita semua walaupun peringkat ini tidak hanya mengcover peringkat baca melainkan peringkat literasi secara umum, tetap saja nilainya membuat sedih.
Apa yang harus kita lakukan?
Seperti nasehat lama yang tak pernah usang. Kita bisa bergerak memulai dari diri kita sendiri. Seperti kisahku yang kubagikan di atas.
Keluarga sudah begitu berusaha membangun suasana dan lingkungan agar aku dan adik-adik akrab dengan budaya literasi.
Bangun budaya berliterasi dari lingkungan keluarga.
Kamipun merasakan manfaatnya walupun pada akhirnya diri terus berkembang dan lalai menjaga semangat berliterasi itu.
Maka, PR-ku adalah mengembalikan semangat dan gairah itu.
Bagian menjaga api semangat ini memang challenging.
Tak serta-merta bisa istiqamah. #nunjuk diri sendiri
Selanjutnya, apakah kita bisa mulai bergerak maju lagi agar akrab berliterasi?
Apakah aku akan kembali melahap semua bacaan lagi? Ini pertanyaan serius buat diri sendiri. Karena semakin hari, aku semakin kebingungan soal baca yang mana dulu. Hahaha...
Di sisi lain mulai tertarik memperkaya diri soal parenting demi bekal jadi orang tua.
Sementara mulai pula bersemangat mencoba hal berliterasi baru di luar kebiasaan.
Kurasa baiknya aku bakal mulai dari manajemen waktu.
Bagaimana kondisi semangat literasi saat ini?
Saat ini, berliterasi sudah sangat sering digaungkan dari berbagai pihak. Contoh saja di kota Bandung tempat saya sempat bermukim dulu. Taman bacaan dan fasilitas ruang baca atau perpustakaan bisa dibilang mumpuni.
Apalagi saat Bandung berbenah mempercantik diri.
Perpustakaan di lingkungan Lapangan Gasibu itu adalah ide yang saaaangat menyenangkan bagiku. Juga perpustakaan kampus dengan fasilitas yang membuat betah, dan faktor pendukung lainnya.
Lihat?
Sudah bersemangat sekali bukan???
Program berbagi buku pun sudah sering kali terdengar.
Ada yang diprakasi oleh kelompok sukarelawan atau bahkan inisiatif pribadi.
Misalnya para relawan pengajar di daerah SM3T.
Waktu itu ada bazar heboh dari sebuah toko buku ternama. Saya yang notabenenya suka buku (walaupun kadarnya ga seheboh dulu), pun ikut ke bazar memborong beberapa buku.
Saat itu saya juga ikut serta penggalangan buku bacaan yang diprakasai tim pengajar SM3T dan kelompok sukarelawan Larantuka yang dijembatani oleh sahabatku, Bomans. Kami membeli buku bacaan untuk anak-anak.
Ada juga teman blogger yang baru sekali aku berjumpa dengannya.
Beberapa pembaca pasti kenal deh. Namanya DC alias Teh Desi, Ibu Jerapah.
Sudah pernah mampir ke blognya kan?
Isinya artikel bermanfaat yang kaya informasi.
Nah, Teh DC pernah bikin pengumuman berbagi buku gratis. Waktu itu saat ada program pengiriman buku gratis dari PT. Pos Indonesia. Ada beberapa buku yang ingin ia sumbangkan kepada siapa saja yang mau membacanya. Aku pun mengajukan diri untuk meminang salah satu koleksinya. Walaupun ternyata ada kesalahpahaman info dari PT. Pos, Teh DC tetap mengirimkan bukunya. Waktu itu ternyata ada syarat khusus untuk ikut program kirim buku gratisnya. Intinya, buku yang hendak disumbangkan oleh Teh DC tidak masuk syarat, dan dikenakan ongkos kirim. Aku bilang, ongkirnya aku yang bayar aja, tapi masyaallah niat berbaginya sangat teguh. Teh DC bilang nggak usah dan buku pun sampai ke alamatku. Barakallah ya teteh...
Selain taman bacaan dan fasilitas perpustakaan yang sudah berbenah, para individu pun sudah sangat melek bin sdar tentang pentingnya budaya membaca ini. Para ibu dan ayah mulai melengkapi koleksi bacaan untuk putra- putrinya, mulai mengenalkan permainan edukatif dengan tujuan mengenalkan dan merangsang minat berliterasinya, dan banyak usaha lainnya.
Artinya, sebenarnya Indonesia sudah tau tentang pentingnya hal tersebut.
Semoga saja, terlepas dari peringkat dunia itu, kualitas individu masyarakat Indonesia semakin meningkat. Semoga saja akupun bisa mengejar ketertinggalanku dan bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dan lingkungan sekitarku.
Jadi sebenarnya ada apa dengan rendahnya minat baca dan tulis di Indonesia???
Tulisan ini diikutkan dalam Postingan Tematik (PosTem) Blogger Muslimah Indonesia
#PostinganTematik #BloggerMuslimahIndonesia
Read more »
By
Labels: sharing
Labels: sharing